Tuesday, March 08, 2011

Biarkan

Biarkan ia di sini
Menari sesuka hati
Di siang yang sepi
Di malam yang sunyi

Biarkan ia di sini
Jangan kau ajak pergi
Jika ia tak ada lagi
Bagaimana mengenangmu nanti
Published with Blogger-droid v1.6.7

Saturday, March 27, 2010

Mencoba Mobile Blogging

Lewat tengah malam. Cuma terdengar suara jangkrik bersahutan, dan sesekali kokok ayam di kejauhan. Meski mata sudah berat dan agak terasa perih, rasa penasaran atas pontang-panting urusan mobile blogging ini, memaksaku untuk menahan kantuk.

Bisa jadi memang karena ketergesaan membaca instruksi sampai-sampai aku harus dipusingkan oleh notifikasi lewat email yang bertubi-tubi. Tapi sejauh ketelitianku, sepertinya sudah semua prosedur kuikuti.

Notifikasi yang menyebutkan kalau device yang aku gunakan belum teregistrasi itu jelas mengganggu. Bahkan ketika aku mengulang-ulang proses registrasi dan unregistrasi, tetap saja notifikasi yang menjengkelkan itu muncul.

Tak enak sebenarnya berkeluh kesah di posting awal lewat jalur mobile, tapi kejengkelan yang hampir sampai ke ubun-ubun ini, seolah-olah menuntun begitu saja jari-jemariku menata kata demi kata dan kalimat-demi kalimat bernada putus asa.

Tapi, ya sudahlah, mudah-mudahan saat blog ini terpampang, notifikasi paling bikin muak itu tak ada lagi. Semoga.
Published with Blogger-droid v1.6.8

Tuesday, December 29, 2009

Buah Hatiku

Dua buah hatiku terlelap sudah. Si sulung memeluk guling, si bungsu setia dengan gayanya: tangan membentang dan kepala menengadah. Keduanya seperti asyik melakoni mimpi-mimpi mereka. Entah sudah berapa lama. Meski posisi tidurnya sudah tak beraturan, namun kepolosan wajah mereka memancarkan kenyamanan dalam gelutan mimpi.

Sepertinya tak pernah sedikitpun rasa jenuh menghantui malam-malamku meski bertahun-tahun aku disuguhi pemandangan seperti itu. Sama tak jenuhnya saat kuciumi buah hatiku satu-satu. Meski beragam penat sepanjang kerja dan beragam onak sepanjang jalan kerap memuncak di rumah, hampir tak pernah kulewatkan rutinitas memandangi, mengelusi dan menciumi mereka.

Reza, si sulung, membujurkan badannya lebih dari separuh panjang tempat tidur. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dari beberapa teman sebayanya, tak menyurutkan ingatanku pada tubuh mungilnya dulu. Di usianya yang telah menginjak 9 tahun, selalu saja ia kuingat sebagai bocah kecil yang tak bisa diam.

Tubuh mungil itulah yang dulu memaksaku menahan air mata saat ia menapaki dunia barunya, taman kanak-kanak. Bangga, haru, dan cemas bercampur dan berkomplot menggenangkan air ke pelupuk mataku. Rasa haru boleh saja datang setiap saat, tapi haru melihat bocah kecilku yang berbalut seragam berjalan ragu menapaki halaman sekolah, sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

Meski kelihatan ragu, aku tahu ia penuh semangat memasuki lembaran hidupnya yang baru. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, seolah bisa merasakan kecemasanku. Belum pernah aku didera rasa sedemikian hebat. Air mataku pastilah tumpah kalau saja tak ada kerumunan para pengantar di balik pagar sekolah.

Betapa cepat waktu berlalu, rasaku saat itu. Seolah baru kemarin ia lahir. Rasa senangku bahkan belum lagi habis setelah melihat ia mulai bisa merangkak atau melangkahkan kaki-kakinya yang mungil. Seolah baru kemarin ia bisa berlari! Dan si ganteng yang tak berdosa itu kini sudah harus menghadapi dunia!

Kecemasan yang berlebihan, barangkali.

Tapi, mengapa rasa yang hampir serupa muncul lagi saat si bungsu Zahra juga mulai menapaki dunianya yang baru? Seperti kakaknya, si ikal cantik ini pun penuh semangat memasuki pendidikan dini. Dan aku lagi-lagi didera rasa haru.

Berbalut pakaian sekolah, ia tetap kuingat sebagai gadis mungil yang melulu merajuk minta digendong. Kalau ada yang memberatkanku untuk mengayunkan langkah, maka itulah rengekannya yang memintaku untuk tetap bersamanya, dekat-dekat dengannya. Kalau ada yang menunda langkah-langkahku, maka linangan air mata dan pelukannyalah yang melakukan itu.

Tapi kini dia mengayunkan langkah, menggerakkan jarinya membuka lembar demi lembar episode kehidupannya. Mulai menulis kisah baru dalam ingatannya. Tak merengek minta ditemani. Tak merajuk minta dipeluk.

Ya, semakin kumengerti betapa ayah bundaku dulu juga haru, cemas, dan bangga saat anak-anaknya melewati babak demi babak kehidupan. Rasa yang tak terucapkan, tapi terlukis jelas pada raut wajah mereka. Dan tetap ada hingga kini, kuyakin.

Reza dan Zahra, buah hatiku, ayah bundamu hanya mengantar kalian memasuki dunia baru, dan kalianlah yang punya hak membentuk dunia itu. Ayah bundamu hanya membekali dengan sebatas daya, dan kalianlah yang bakal menaklukkan dunia itu. (moeha/3 Agustus 2009)