Monday, July 04, 2005

Setahun S2W: Sebuah Catatan Kecil

“Aku berusaha agar punya hubungan unik dengan sepeda motorku. Aku tak memberinya nama, tapi aku kerap berbicara dengannya. Tak tahu aku apakah biker lain juga melakukan hal yang sama. Bagiku, motor bukan hanya sebongkah besi, tapi ada nyawa di dalamnya. Karenanya, motorku kerap menimpali percakapan, bukan dengan suara, tapi dengan komponen-komponennya….”

Begitu penuturan Valentino “The Doctor” Rossi, yang disadur bebas dari valentinorossi. net.

Barangkali memang tak semua orang bisa memperlakukan motor seperti Rossi. Tapi, tentunya, banyak juga di antara kita yang punya ikatan kuat dengan motor kesayangan. Bahkan tak jarang yang seakan-akan punya hubungan batin dengan kuda besi itu. Bukankah ada di antara kita yang ikut-ikutan tidak enak badan manakala motor kita mendadak bermasalah?

Seringkali kita rela berlama-lama ‘berduaan’ dengan motor sampai kita yakin raungan mesinnya telah cukup soft atau knalpotnya tak lagi ‘batuk-batuk’. Lama, dan barangkali lebih lama dari waktu yang kerap kita habiskan bersama-sama istri, anak, atau pacar kita.

Mungkin tak sampai seperti Rossi, namun mendengar deru mesin di pagi hari bagi kita membawa kenikmatan tersendiri. Atau coba sekali saja bayangkan bagaimana indahnya tapak-tapak ban berpadu dengan permukaan aspal. Bayangkan bagaimana komponen karet ban mencengkeram tikungan demi tikungan, dan kita tetap asik melenggak-lenggokkan tubuh.

Namun, sobat, bagaimanapun pandangan kita tentang motor, seberapapun serius kita memodifikasinya, tak lebih berarti dibanding semangat persaudaraan yang tumbuh selama setahun ini.

Awal Agustus 2003, pagi di kawasan Mega Kuningan masih sepi oleh kendaraan. Terlihat beberapa mobil dan sepeda motor diparkir di sisi-sisi jalan sementara beberapa orang melepas lelah sehabis lari pagi, sambil menonton pertandingan sepakbola.

Di sudut timur kawasan antarbangsa dan perkantoran elit itu, segelintir biker yang selama ini berinteraksi di dunia maya, mencoba membuktikan lagi bahwa persaudaraan bisa datang dari mana saja. Dan gagasan itu tetap utuh hingga kini meski berkali-kali dihantam badai.

Entah telah berapa kali persaudaraan kita diuji. Dan berapa kali lagi kita akan menanjaki tebing-tebing terjal. Namun, percayalah, tak ada penyakit yang tak ada obatnya, tak ada masalah yang tak punya jalan keluar.

Awal Juli 2004, siang di sebuah jalan pinggiran Jakarta. Seorang pengendara motor menendangkan kakinya ke arah angkutan kota yang berhenti di tepi jalan. Barangkali si angkot berhenti mendadak, atau bagi si pengendara motor, angkot tersebut berhenti tidak terlalu di tepi. Tapi apakah harus dengan menendang?

Sementara di ruas jalan lain, motor dan mobil berlomba menyerobot lampu merah, atau mengambil jalan yang menentang arah. Sudah kian biasa juga kita lihat motor yang berjalan di trotoar, ruang yang sepenuhnya hak pejalan kaki. Barangkali kita pun kerap melakukannya.

Ah, itulah sebagian kecil potret carut marutnya jalan Jakarta yang kita hadapi sehari-hari, sampai-sampai kita tak sabar untuk mengucapkan selamat jalan kepada peradaban. Ya, lalu lintas adalah representasi yang sah dari tingkat peradaban. Dan kita ada di dalamnya, dan entah sampai kapan kita akan menyaksikan itu.

Barangkali tak ada yang salah dengan mereka, tapi negeri ini entah jadi apa.

Selamat ulang tahun komunitas Suzuki-2Wheels. Kita tak tahu berapa lama kita akan bertahan. Sama sekali tak tahu, tapi kita berusaha untuk menjadi komunitas yang mengerti.

Selamat ulang tahun. Semoga Tuhan melindungi dan membimbing kita.

Jakarta, 29 Juli 2004

Catatan Kecil untuk si Kecil

“Aku biasa menghabiskan Rp15 juta dalam satu bulan untuk belanja keperluan pribadi. Habis, segala kebutuhan keluarga telah dipenuhi oleh suami. Aku bekerja keras setiap hari, kalau hasilnya bukan untuk dibelanjakan, lalu untuk apa lagi?”

Begitu kurang lebih penuturan seorang wanita karir di sebuah surat kabar nasional, beberapa waktu lalu. (Maaf kalau salah).

Kata-kata itu melintas kembali saat kusaksikan deretan rumah di sebuah gang di Kampung Krukut, Jawa Barat, akhir Juni 2003. Deretan rumah berpagar anyaman bambu dan mungkin tak berlantai. Lusuh. Jalan masuk gang hanya diisi batu kerikil berserakan tak karuan. Selebihnya tanah memerah, yang mengepulkan debu tinggi-tinggi saat kendaraan lewat. Gersang. Sebuah pemandangan yang sebenarnya kerap kusaksikan beberapa dekade lalu.

Tak ada yang melarang si wanita karir itu menghabiskan uangnya untuk belanja puluhan baju baru atau berlapis kosmetik kelas satu. Bahkan dia mungkin lebih jujur ketimbang para maling yang mengutip uang rakyat diam-diam dan befoya-foya di negeri seberang.

Dia juga mungkin wanita paling dermawan, karenahanya menyebut pengeluaran belanjanya, tanpa menyebutpengeluaran dermanya yang mungkin jauh lebih besar.Bukankah kerap kita dinasihati jika tangan kananmemberi, tangan kiri tidak boleh tahu?

Kalaupun dia tak berderma, Tuhan pun mungkin hanya tersenyum melihatnya. Karena barangkali dalam kosmologi pikirannya tidak ada satu celah pun dimana keprihatinan singgah sebentar saja.Tapi, kenapa kemiskinan di sekeliling kitaseperti tak beranjak? Kita semua seperti berjalansendiri-sendiri, mencari tujuan sendiri.

Awal Juli, aku termenung di depan ballroom HotelMulia. Di sana seorang remaja putri tengah merayakan ulang tahun ke-17. Di luar, nampak mobil-mobil licin membawa teman-teman sebayanya yang wangi dan apik.Teringat juga aku dengan pesta ulang tahun “teman” kita di sebuah hotel yang menghabiskan ratusan jutarupiah itu.

Ah! Tak ada yang salah dengan mereka. Negeri ini tidak peduli apapun yang kau kerjakan dengan berapapun rupiah yang kau habiskan.

Tuhan, maafkan aku.
Reza, selamat ulang tahun. Papa tidak tahu akanjadi apa saat kau besar nanti. Sama sekali tidak tahu.Tapi papa berusaha agar kau jadi orang yang mengerti.

Papa juga bukan orang suci, karena kerap menggenggam yang putih namun sekaligus mendekap eratyang hitam. Tapi papa akan berusaha agar kau jadi orang yang memahami. Selamat ulang tahun, Nak. Semoga Tuhan melindungi dan membimbing kita.

Juli 2003

Sunday, July 03, 2005

Nyanyian temanku

Liukan garis bibir itu melesat menghujami kulit-kulitku
Menghentak, memaksa mundur berlangkah-langkah

Lewati jalan pernah kulalui
di sisi-sisinya penuh pelangi

Matamu mencuat lantas di sela ilalang
Menyergap, menusuk, membalut
getar-getarkan jiwa menghampa

Seperti kubawa kau kelilingi
Gelap terang tak pernah kau bayangi
Kenalkan satu-satu awan bintang bertabur
Lukiskan malam lewat binar-binar matamu

Sebentar kau tempatkan aku
di titik entah di mana
Sebentar kau sayat irama mengindah
pada lirik putus itu

Seperti memudar
Coda tak membekas

Kelinci putih, episode ini sulit kunamai

Jakarta, Mei-Juni-Juli 2003