Tuesday, December 29, 2009

Buah Hatiku

Dua buah hatiku terlelap sudah. Si sulung memeluk guling, si bungsu setia dengan gayanya: tangan membentang dan kepala menengadah. Keduanya seperti asyik melakoni mimpi-mimpi mereka. Entah sudah berapa lama. Meski posisi tidurnya sudah tak beraturan, namun kepolosan wajah mereka memancarkan kenyamanan dalam gelutan mimpi.

Sepertinya tak pernah sedikitpun rasa jenuh menghantui malam-malamku meski bertahun-tahun aku disuguhi pemandangan seperti itu. Sama tak jenuhnya saat kuciumi buah hatiku satu-satu. Meski beragam penat sepanjang kerja dan beragam onak sepanjang jalan kerap memuncak di rumah, hampir tak pernah kulewatkan rutinitas memandangi, mengelusi dan menciumi mereka.

Reza, si sulung, membujurkan badannya lebih dari separuh panjang tempat tidur. Postur tubuhnya yang lebih tinggi dari beberapa teman sebayanya, tak menyurutkan ingatanku pada tubuh mungilnya dulu. Di usianya yang telah menginjak 9 tahun, selalu saja ia kuingat sebagai bocah kecil yang tak bisa diam.

Tubuh mungil itulah yang dulu memaksaku menahan air mata saat ia menapaki dunia barunya, taman kanak-kanak. Bangga, haru, dan cemas bercampur dan berkomplot menggenangkan air ke pelupuk mataku. Rasa haru boleh saja datang setiap saat, tapi haru melihat bocah kecilku yang berbalut seragam berjalan ragu menapaki halaman sekolah, sungguh tak terbayangkan sebelumnya.

Meski kelihatan ragu, aku tahu ia penuh semangat memasuki lembaran hidupnya yang baru. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, seolah bisa merasakan kecemasanku. Belum pernah aku didera rasa sedemikian hebat. Air mataku pastilah tumpah kalau saja tak ada kerumunan para pengantar di balik pagar sekolah.

Betapa cepat waktu berlalu, rasaku saat itu. Seolah baru kemarin ia lahir. Rasa senangku bahkan belum lagi habis setelah melihat ia mulai bisa merangkak atau melangkahkan kaki-kakinya yang mungil. Seolah baru kemarin ia bisa berlari! Dan si ganteng yang tak berdosa itu kini sudah harus menghadapi dunia!

Kecemasan yang berlebihan, barangkali.

Tapi, mengapa rasa yang hampir serupa muncul lagi saat si bungsu Zahra juga mulai menapaki dunianya yang baru? Seperti kakaknya, si ikal cantik ini pun penuh semangat memasuki pendidikan dini. Dan aku lagi-lagi didera rasa haru.

Berbalut pakaian sekolah, ia tetap kuingat sebagai gadis mungil yang melulu merajuk minta digendong. Kalau ada yang memberatkanku untuk mengayunkan langkah, maka itulah rengekannya yang memintaku untuk tetap bersamanya, dekat-dekat dengannya. Kalau ada yang menunda langkah-langkahku, maka linangan air mata dan pelukannyalah yang melakukan itu.

Tapi kini dia mengayunkan langkah, menggerakkan jarinya membuka lembar demi lembar episode kehidupannya. Mulai menulis kisah baru dalam ingatannya. Tak merengek minta ditemani. Tak merajuk minta dipeluk.

Ya, semakin kumengerti betapa ayah bundaku dulu juga haru, cemas, dan bangga saat anak-anaknya melewati babak demi babak kehidupan. Rasa yang tak terucapkan, tapi terlukis jelas pada raut wajah mereka. Dan tetap ada hingga kini, kuyakin.

Reza dan Zahra, buah hatiku, ayah bundamu hanya mengantar kalian memasuki dunia baru, dan kalianlah yang punya hak membentuk dunia itu. Ayah bundamu hanya membekali dengan sebatas daya, dan kalianlah yang bakal menaklukkan dunia itu. (moeha/3 Agustus 2009)

Memotret Masa Kecil

Mengasyikkan juga pengalaman beberapa minggu terakhir. Penggalan-penggalan kisahnya memaksaku membongkar lagi kenangan masa lalu.

Jum'at siang di akhir Februari lalu aku sholat di masjid yang tak jauh dari rumah bunda. Itu Jum'at kedua aku kembali mengunjungi masjid masa kecilku. Seperti minggu sebelumnya, kali itu pun terasa benar aroma masa lalu mengetuk-ngetuk ingatanku.

Tak mudah mengingat kapan terakhir kali aku menjejakkan kaki di masjid itu. Aktivitas kuliah bertahun-tahun lalu dan berlanjut dengan riuh rendah dunia kerja, ikut memindahkan aktivitas 'Jum'atan'-ku ke masjid (-masjid) lain. Belum lagi kepindahanku ke rumah baru yang praktis memperlebar jarak.

Hampir setiap hari sebenarnya masjid itu kulewati. Letaknya yang persis di pinggir jalan raya membuatnya tak mungkin luput dari pandangan siapapun yang melintas. Terlebih bangunan bercat putih itu dilengkapi menara yang tinggi menjulang, membuatnya tampak menonjol di antara bangunan sekitar. Tapi, ya, belakangan ini memang aku sekadar lewat.

Sepertinya tak banyak perubahan pada masjid itu sejak terakhir kunjunganku. Ya, renovasi besar-besaran memang sudah dilakukan bertahun-tahun silam.

Kala itu, demi menampung luapan jamaah, masjid pernah dipugar dengan memperluas bagian belakangnya (atau depan?). Halaman masjid yang dulu ditumbuhi rumput dan pohon-pohon palem besar di beberapa sudut, setelah itu praktis tertutup lantai keramik. Dinding terluar masjid di sisi yang berdekatan dengan jalan raya, hanya menyisakan jarak kurang lebih dua meter dengan pagar besi. Sementara puluhan jendela kaca besar dipasang pada sisi-sisi masjid guna mempercantik tampilan.

Dan masih tampak seperti itu sampai sekarang. Kecuali ukiran kaligrafi dari patrian kuningan yang terpampang di atas mihrab. Dulu, kaligrafi petikan dari ayat-ayat suci yang tertulis di sepanjang dinding itu masih berupa lukisan cat.

Namun, berubah atau tidak masjid itu, suasana 'Jum'atan' tetap sama.

Saat menunggu azan berkumandang, kekhusyu'an serasa menyusup di sela-sela jamaah dan menyebar ke tiap sudut masjid. Tak tahu benar apa yang ada di benak mereka, tapi semua seakan larut dalam suasana hening. Sesekali memang terdengar canda tawa bocah-bocah dari arah belakang, canda yang juga kulakukan dulu. Pun saat khotib berceramah. Juga saat sholat berlangsung.

Semua seakan memboyong raga dan rasaku ke beberapa tahun silam. Saat bersama teman sepermainan berangkat ke masjid bersama, bercanda sepanjang jalan, bergurau sepanjang 'Jum'atan', dan berlarian selepas imam mengucap salam.

Sehari sesudahnya, aku lebur dalam Sabtu sore yang nyaman di lingkungan rumah bunda. Juga menikmati suasana warisan masa lalu. Sudah banyak perubahan memang, tapi hangatnya matahari sore itu seakan membawa pesan-pesan yang pernah kurasakan kala kecil. Dulu, sering aku tercenung melihat semburat sinarnya menembus dedaunan dan jatuh di tanah yang coklat. Semakin cantik dipandang saat daun-daun rambutan itu bergerak ditiup angin atau saat diselimuti asap.

Sabtu sore itu memang tak kulihat canda angin dan dedaunan. Awan-awan hitam kecil yang muncul di sudut-sudut langit sebentar-sebentar menahan sinar mentari untuk bergabung. Tapi kehangatan keluarga dan canda tawa kawan-kawan lama masih seperti dulu.

Begitu juga minggu berikutnya. Sambil menunggu perbaikan mobil sepulang jalan-jalan ke Anyer, kuputuskan untuk sejenak menengok bunda di rumah dengan melewati jalan kecil di antara rumah-rumah petak. Jarak antara bengkel dengan rumah bunda memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 meter. Tapi akses menuju ke sana terbilang cukup banyak, mulai dari jalan besar hingga gang-gang kecil.

Senin siang yang menyengat itu kucoba lewat jalan kecil di antara rumah petak. Susah juga bagiku untuk mengingat kapan terakhir kutelusuri jalan berbalut semen itu. Jauh lebih susah daripada mengingat kapan terakhir kujejakkan kaki di masjid masa kecilku.

Toh, aku tetap bisa mengendus perubahan-perubahan apa saja yang sudah terjadi. Lebar jalan itu sepertinya tak berubah, hanya sekitar 2 meteran, itupun sudah mengambil halaman rumah petak di kiri-kanannya. Tak tahu persis sudah berapa kali jalan itu ditambal semen. Yang jelas, saat sering berlarian di jalan kecil itu dulu, dia memang sudah bersemen.

Begitu juga dengan undakan yang memisahkan rumah petak di dataran rendah dengan rumah petak di dataran tinggi. Nyaris tak ada perubahan. Undakan yang tinggi dan lebarnya tak beraturan itu masih sama saat aku berlelah-lelah menaiki dan menuruninya dulu.

Yang nampak sekali berubah adalah rumah-rumah petak itu sendiri. Selain penghuninya sudah banyak berganti, bangunannya juga sudah banyak mengalami renovasi, terutama rumah petak yang ada di dataran tinggi. Alhasil, lingkungannya memang relatif lebih rapi dibanding dulu. Tapi aku seolah masih bisa melihat teman-teman masa kecilku berkejaran sepanjang jalan kecil itu.

Yah, entah mengapa belakangan ini aku disuguhi menu hidup seperti itu. Semua seperti terhampar di hadapanku dan aku tinggal memotretnya satu per satu. Dan seperti laiknya potret, apapun bisa kita lakukan terhadapnya. Yang jelas, tak peduli seberapa kecil atau besar, apapun yang kita lakukan di masa lalu, masa kini, atau masa datang, pasti memberi arti. Dan betapa beruntungnya kita jika arti itu dirasakan orang lain. (moeha/10 Maret 2009)

Catatan Kecil Untuk Bunda

Pagi masih dibalut mendung sisa semalam, gerimis masih jatuh satu-satu. Udara dingin langsung menyergap begitu pintu menyeruak. Seperti pagi, siang, dan malam sebelumnya, pagi itu pun aku teringat bunda.

Seperti angin yang selalu menyapu pagi pelan-pelan, seperti itulah air mata menggenang. Seolah tak ada cara untuk membendungnya, genangan itu menyusur pipiku perlahan. Semalam, aku kembali bermimpi bunda bisa berjalan seperti dulu.

Entah bagaimana lagi cara menggambarkan kerinduanku pada masa lalu, saat bunda masih bisa melakukan segalanya. Seakan tak pernah sekejap pun masa lalu itu memudar dari bayangan. Siang malamku selalu saja diisi semangat bunda yang tak pernah lelah. Semangat yang tak pernah tersumbat meski langkah kini terhambat.

Entah mengapa puluhan tahun melukis pelangi masa lalu bersama bunda terasa begitu cepat, namun setahun melihat bunda lemah terbaring terasa begitu lama.

Kemarin, bunda menjatuhkan air mata. Begitu selalu saat menatap semua buah hatinya. Butir-butir air mata yang terasa memantulkan kerinduan bunda menyuguhkan kasih sayang seperti dulu.

Bunda, pahlawan di siang dan malamku, di terang dan gelapku, pasti kita lewati aral ini. Seperti semangat bunda yang mampu merobohkan ribuan gunung, semangat itu pula yang bakal meratakan ribuan karang terjal kini. (moeha/22 Desember 2008)