Tuesday, December 29, 2009

Memotret Masa Kecil

Mengasyikkan juga pengalaman beberapa minggu terakhir. Penggalan-penggalan kisahnya memaksaku membongkar lagi kenangan masa lalu.

Jum'at siang di akhir Februari lalu aku sholat di masjid yang tak jauh dari rumah bunda. Itu Jum'at kedua aku kembali mengunjungi masjid masa kecilku. Seperti minggu sebelumnya, kali itu pun terasa benar aroma masa lalu mengetuk-ngetuk ingatanku.

Tak mudah mengingat kapan terakhir kali aku menjejakkan kaki di masjid itu. Aktivitas kuliah bertahun-tahun lalu dan berlanjut dengan riuh rendah dunia kerja, ikut memindahkan aktivitas 'Jum'atan'-ku ke masjid (-masjid) lain. Belum lagi kepindahanku ke rumah baru yang praktis memperlebar jarak.

Hampir setiap hari sebenarnya masjid itu kulewati. Letaknya yang persis di pinggir jalan raya membuatnya tak mungkin luput dari pandangan siapapun yang melintas. Terlebih bangunan bercat putih itu dilengkapi menara yang tinggi menjulang, membuatnya tampak menonjol di antara bangunan sekitar. Tapi, ya, belakangan ini memang aku sekadar lewat.

Sepertinya tak banyak perubahan pada masjid itu sejak terakhir kunjunganku. Ya, renovasi besar-besaran memang sudah dilakukan bertahun-tahun silam.

Kala itu, demi menampung luapan jamaah, masjid pernah dipugar dengan memperluas bagian belakangnya (atau depan?). Halaman masjid yang dulu ditumbuhi rumput dan pohon-pohon palem besar di beberapa sudut, setelah itu praktis tertutup lantai keramik. Dinding terluar masjid di sisi yang berdekatan dengan jalan raya, hanya menyisakan jarak kurang lebih dua meter dengan pagar besi. Sementara puluhan jendela kaca besar dipasang pada sisi-sisi masjid guna mempercantik tampilan.

Dan masih tampak seperti itu sampai sekarang. Kecuali ukiran kaligrafi dari patrian kuningan yang terpampang di atas mihrab. Dulu, kaligrafi petikan dari ayat-ayat suci yang tertulis di sepanjang dinding itu masih berupa lukisan cat.

Namun, berubah atau tidak masjid itu, suasana 'Jum'atan' tetap sama.

Saat menunggu azan berkumandang, kekhusyu'an serasa menyusup di sela-sela jamaah dan menyebar ke tiap sudut masjid. Tak tahu benar apa yang ada di benak mereka, tapi semua seakan larut dalam suasana hening. Sesekali memang terdengar canda tawa bocah-bocah dari arah belakang, canda yang juga kulakukan dulu. Pun saat khotib berceramah. Juga saat sholat berlangsung.

Semua seakan memboyong raga dan rasaku ke beberapa tahun silam. Saat bersama teman sepermainan berangkat ke masjid bersama, bercanda sepanjang jalan, bergurau sepanjang 'Jum'atan', dan berlarian selepas imam mengucap salam.

Sehari sesudahnya, aku lebur dalam Sabtu sore yang nyaman di lingkungan rumah bunda. Juga menikmati suasana warisan masa lalu. Sudah banyak perubahan memang, tapi hangatnya matahari sore itu seakan membawa pesan-pesan yang pernah kurasakan kala kecil. Dulu, sering aku tercenung melihat semburat sinarnya menembus dedaunan dan jatuh di tanah yang coklat. Semakin cantik dipandang saat daun-daun rambutan itu bergerak ditiup angin atau saat diselimuti asap.

Sabtu sore itu memang tak kulihat canda angin dan dedaunan. Awan-awan hitam kecil yang muncul di sudut-sudut langit sebentar-sebentar menahan sinar mentari untuk bergabung. Tapi kehangatan keluarga dan canda tawa kawan-kawan lama masih seperti dulu.

Begitu juga minggu berikutnya. Sambil menunggu perbaikan mobil sepulang jalan-jalan ke Anyer, kuputuskan untuk sejenak menengok bunda di rumah dengan melewati jalan kecil di antara rumah-rumah petak. Jarak antara bengkel dengan rumah bunda memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 meter. Tapi akses menuju ke sana terbilang cukup banyak, mulai dari jalan besar hingga gang-gang kecil.

Senin siang yang menyengat itu kucoba lewat jalan kecil di antara rumah petak. Susah juga bagiku untuk mengingat kapan terakhir kutelusuri jalan berbalut semen itu. Jauh lebih susah daripada mengingat kapan terakhir kujejakkan kaki di masjid masa kecilku.

Toh, aku tetap bisa mengendus perubahan-perubahan apa saja yang sudah terjadi. Lebar jalan itu sepertinya tak berubah, hanya sekitar 2 meteran, itupun sudah mengambil halaman rumah petak di kiri-kanannya. Tak tahu persis sudah berapa kali jalan itu ditambal semen. Yang jelas, saat sering berlarian di jalan kecil itu dulu, dia memang sudah bersemen.

Begitu juga dengan undakan yang memisahkan rumah petak di dataran rendah dengan rumah petak di dataran tinggi. Nyaris tak ada perubahan. Undakan yang tinggi dan lebarnya tak beraturan itu masih sama saat aku berlelah-lelah menaiki dan menuruninya dulu.

Yang nampak sekali berubah adalah rumah-rumah petak itu sendiri. Selain penghuninya sudah banyak berganti, bangunannya juga sudah banyak mengalami renovasi, terutama rumah petak yang ada di dataran tinggi. Alhasil, lingkungannya memang relatif lebih rapi dibanding dulu. Tapi aku seolah masih bisa melihat teman-teman masa kecilku berkejaran sepanjang jalan kecil itu.

Yah, entah mengapa belakangan ini aku disuguhi menu hidup seperti itu. Semua seperti terhampar di hadapanku dan aku tinggal memotretnya satu per satu. Dan seperti laiknya potret, apapun bisa kita lakukan terhadapnya. Yang jelas, tak peduli seberapa kecil atau besar, apapun yang kita lakukan di masa lalu, masa kini, atau masa datang, pasti memberi arti. Dan betapa beruntungnya kita jika arti itu dirasakan orang lain. (moeha/10 Maret 2009)

No comments: